Pasar Malam: Manifestasi Hiburan Rakyat Jelata

Ifan Islami
3 min readMar 31, 2018

Malam minggu selalu menyajikan kegembiraan bagi siapa saja. Mereka yang mempunyai kekasih boleh pergi berduaan mengelilingi kota dengan cahaya lampunya yang warna-warni, seperti simbol LBGT, eh maksud saya seperti simbol SDGs. Yang berstatus tunggal pun, kadang memanfaatkan momen ini untuk berjalan-jalan dengan sahabat. Bagi mereka yang mempunyai cukup uang, bisa pergi ke pusat belanja, dan bagi yang hanya punya sedikit bisa mampir ke kafe-kafe pinggir kota, dan bila tidak punya uang, cukup bersapa ria di fly over saja.

Dahulu sekali, saya menganggap momen malam minggu adalah malam yang terbaik, ini terjadi ketika masa-masa sekolah dasar. Sebab di malam minggu terdapat sebuah gelaran akbar yang cukup menghibur; pasar malam. Bagi kami warga kota pinggiran, pasar malam adalah manifestasi dari hiburan yang sebenarnya. Maklum saja, mengunjungi mall adalah hal yang sangat jarang sekali, barang kali kami hanya pergi ke mall satu tahun sekali, itu pun saat momen pasca lebaran.

Pasar malam eksis setiap momen malam minggu (di lingkungan kami). Terletak di jalan-jalan pasar utama, dan bila gelaran ini dilakukan, maka jalan-jalan di sekitar akan ditutup untuk beberapa saat. Memang tidak begitu ciamik gelaran ini, tidak ada pendingin ruangan, lampu-lampunya pun hasil swadaya dengan pemilik rumah di sekitar lokasi. Namun kultur menikmati pasar malam sudah menjadi kebiasaan bocah-bocah kecil di sekitar lokasi, termasuk saya, pada saat itu.

Pasar malam bak ritus suci kami tiap malam minggu, tidak boleh dilewatkan, wajib hukumnya berpartisipasi dalam gelaran pasar malam. Saya masih ingat betul, lepas Shalat Maghrib, saya harus pergi terlebih dahulu ke TPA (Tempat Pendidikan Alquran), sebelum melakukan kunjungan ke pasar malam. Menyebalkan sekali memang, momen menyenangkan ini terpotong oleh pelajaran mengaji Al-Quran. Akhirnya setelah mengaji selesai, tepatnya selepas Isya, kami serombongan anak kecil, kira-kira 6–8 orang pergi bersama mengelilingi pasar malam. Sekadar melihat barang-barang yang dipajang, atau melihat orang-orang berinteraksi tawar menawar.

Tidak banyak yang saya lakukan, hanya berjalan mengelilingi pasar tersebut sampai lelah. Terkadang bila ada uang, saya mengikuti permainan yang dijajakan, seperti memancing ikan elektronik dalam mesin, di mana bila kami dapat memancing semua ikan tersebut nantinya akan diganjar dengan hadiah yang menarik. Atau permainan menangkap benda jatuh dengan jari telunjuk dan jempol, barang jatuh tersebut diletakkan beberapa centi di atas tangan, dan pemain harus menangkap barang tersebut dengan jari telunjuk dan jempol saja, bila berhasil maka barang tersebut menjadi milik kami. Tentu permainan tersebut adalah akal-akalan pedagang saja, dengan menipu bocah dungu seperti kami. Biadab betul pedagang tersebut, berani-beraninya mengkapitalisasi anak kecil seperti saya. Barang kali dipikirannya hanya profit dan profit saja.

Terkadang saat kami berkeliling tidak jarang kami bertemu dengan rekan dan bahkan keluarga. Saya kerap bertemu dengan Ibu saya, yang kerap kali tertangkap basah membeli hamburger KW Super, padahal dalam keseharian Ibu adalah orang yang melarang junk food. Pada kesempatan tersebut, sudah pasti saya mendapat insentif berupa 1 porsi. Terkadang adik saya pun teramati suka berkeliling dengan geng sosialitanya di pasar malam untuk membeli buku mewarnai yang akhirnya hanya ia corat-coret saja.

Pasar malam tidak hanya menjadi tempat terjadinya jual beli semata. Ia menjadi tempat kami, masyarakat kelas menengah dan bawah, berinteraksi dan saling mengasihi. Tidak jarang saya dibelikan makanan oleh para tetangga-tetangga dekat karena saya terlihat berseliweran tidak jelas.

Setelah besar, saya menyadari bahwa pasar malam adalah hakikat dari hiburan rakyat Indonesia sedari dulu. Sebelum hadirnya mall, pasar malam menjadi ujung tombak dari hiburan masyarakat seluruh kelas. Kini dengan dominasi hiburan di mall, terjadi pergeseran pasar hiburan. Masyarakat kelas menengah nampak sedikit berubah seleranya terhadap pasar malam, mereka lebih memilih mall sebagai tujuan wisata malam minggu. Walau perilakunya persis sama, berseliweran tidak jelas. Dan pasar malam hanya menjadi hiburan rakyat yang tidak mampu berwisata ke mall.

Kini setelah sekian lama, pasar malam tetap eksis di tengah gempuran tempat hiburan-hiburan lain. Antusiasme anak-anak kecil di lingkungan saya tetap bergelora, biasanya pada malam hari mereka sudah siap pergi ke pasar malam dengan riang gembira. Saban hari saya melihat mereka berteriak kegirangan karena malam minggu ini terdapat gelaran pasar malam. Sama seperti apa yang saya lakukan dahulu.

--

--

Ifan Islami

Political Science 2016, University of Indonesia. Hanya berisi draft