Reformasi Manajemen Informasi, Memperbaiki Komunikasi Politik DPR

Ifan Islami
6 min readOct 17, 2019

Menghubungi anggota DPR adalah pekerjaan yang sangat sulit. Sebagai mahasiswa Ilmu Politik, saya pernah merasakan fase itu. Ketika saya berusaha mencari kesempatan magang di anggota DPR, saya benar-benar dibuat pusing mencarinya. Maklum saya memang tidak punya koneksi politik yang kuat, atau istilahnya tidak punya orang dalam. Saya coba menghubungi lewat banyak medium; Instagram dan email. Tapi tak kunjung dibalas. Baru ketika saya hubungi lewat WhatsApp, mereka merespon. Itu pun saya dapatkan kontaknya dengan susah payah.

Sulitnya berkomunikasi dengan anggota DPR menjadi persoalan yang harus dibenahi. Kelihatan sepele, namun masalah di atas sungguh mendasar. Bagaimana bisa seorang rakyat, yang dulu saat kampanye rajin didatangi oleh calon legislatif, tidak bisa menjangkau dan menghubungi anggota dewan yang mereka pilih. Kita semua punya hak untuk mendapatkan informasi tentang wakil kita di Parlemen. Dan hubungan tersebut yang perlu dijaga untuk menciptakan kondisi politik yang harmoni.

DPR Sebagai Wadah Menampung Aspirasi

DPR harus bisa memastikan bahwa setiap keluhan atau aspirasi diperlakukan sama, serta tidak membiarkannya menguap apalagi merespon “tidak peduli”. DPR memang bukan lembaga eksekutor atau penyedia jasa instan yang ketika mendapat keluhan dapat langsung ditindak lanjuti. Namun bukan berarti DPR tidak bisa menjadi wadah pengaduan. Fungsi mendasar dari DPR adalah menyerap aspirasi, pengaduan. Wadah tersebut harus dibuat inklusif untuk menunjang 3 fungsi pokoknya; pengawasan, legislasi, dan budgeting. Adapun aspirasi yang disampaikan masyarakat sekiranya harus terkait denga 3 fungsi pokok itu.

Penyampaian aspirasi jangan dianggap angin lalu, apalagi sekadar omong kosong. Aspirasi sangat erat kaitannya dengan hubungan antara wakil (anggota DPR) dan yang terwakili (rakyat). Bila aspirasi tidak dilakukan secara optimal, maka komunikasi politik antara wakil dengan terwakil tidak terjalin dengan semesterinya.

Aksi demontrasi #ReformasiDikorupsi mestinya dapat dimaknai sebagai kegagalan DPR dalam menjalin komunikasi politik dengan pemilihnya. DPR membuat RUU dengan aspirasi yang parsial, seakan-akan ada ilusi bahwa apa yang mereka kerjakan adalah kebutuhan rakyat. Di sisi lain, citra DPR sudah kadung negatif jadi konsumsi publik sehari-hari, tidak ada ruang yang luas bagi anggota DPR untuk membela dirinya ketika melakukan kesalahan.

Aksi #ReformasiDikorupsi seharusnya bisa dicegah, bila saja setiap anggota DPR memberi pengertian yang esensial dan persuasif kepada para pemilihnya, terutama kelompok mahasiswa. Bila DPR mau menampung aspirasi sebelum menjadi aksi massa yang membesar. Yang terjadi kini ialah kebuntuan komunikasi. Pihak mahasiswa tidak pernah merasa dihubungi sedikitpun, dan anggota DPR merasa mereka sudah bertindak secara rasional. Perbenturan kedua hal itu menimbulkan konflik yang panas hingga sekarang. Baru ketika ribuan kepala turun ke jalan, pendapat mahasiswa diperhitungkan. Ramai-ramai anggota DPR mencari kontak mahasiswa untuk diajak berdiskusi dan kompromi.

Dalam survey kami, kegelisahan yang dibawa dalam aksi #ReformasiDikorupsi bukan hanya penolakan RUU kontroversial, namun juga gaya dan sikap para elite politik yang dinilai buruk. Di balik RUU yang kontroversial, terdapat proses komunikasi politik yang parsial. Ada informasi politik yang tidak terdistribusi dengan proporsional. Ada kelompok masyarakat yang menganggap dirinya tidak mendapat informasi politik apapun seputar pembuatan RUU, sehingga mereka mengklaim bahwa DPR tidak bersama rakyat.

INI BAGAN HASIL SURVEY

Terkait informasi politik, DPR secara institusi dan keanggotaan perlu mereformasi cara mereka dalam mendistribusikannya. Mereformasi berarti mengubah secara drastis sebuah struktur atau sistem. Konkritnya ialah mengoreksi dan mengupdate platform kanal informasi DPR agar menjangkau masyarakat lebih luas lagi. Sehingga informasi tersebut dapat dilihat dan dipahami oleh masyarakat.

Publik mempunyai hak untuk mendapatkan informasi seputar wakilnya di DPR. Survey yang kami lakukan, menunjukkan bahwa kekecewaan terhadap DPR salah satunya terkait buruknya pengelolaan informasi oleh DPR. DPR dianggap tidak transparan dalam memberikan informasi, atau memang publik yang tidak tahu aksesnya.

Kemudian, publik pun patut mendapat informasi yang detail terkait peran yang bisa mereka lakukan terhadap pembuatan RUU. Hal itu semua seharusnya dapat diakses dengan mudah. Selama ini, kanal media digital DPR hanya mengandalkan webstite dan media sosial saja, dan itu pun tidak memuat informasi penting. Misalnya tidak ada informasi jelas terkait tata cara memasuki Gedung DPR, dan pula tidak ada draft RUU di kanal media DPR mana pun. Pada pokoknya, ada banyak sekali informasi yang harusnya menjadi konsumsi publik, namun kanal media digital DPR tidak menampilkannya.

Kami berusaha melakukan pemetaan terhadap informasi apa saja yang mesti dibuka segera oleh DPR. Informasi tersebut sebetulnya sudah ada, namun tidak diolah dan diterbitkan secara luas. Informasi tersebut antara lain

  1. Tata cara dan persyaratan memasuki Gedung DPR bagi masyarakat umum.
  2. Dokumen draft RUU yang masuk kategori prolegnas.
  3. Peran masyarakat umum dalam mempengaruhi substansi RUU
  4. Kontak personal masing-masing anggota DPR

Empat informasi tersebut harus dikembangkan untuk membenahi proses aspirasi dan komunikasi politik DPR dengan masyarakat. Pertimbangan empat informasi itu kami dapat dari hasil wawancara dengan mahasiswa UI. Kami menyadari bahwa DPR sudah berbuat banyak untuk membuka transparansi informasi. Namun empat informasi di atas menurut kami belum benar-benar dikembangkan, bila pun ada informasinya masih sangat abstrak sekali.

Reformasi Tata Kelola Informasi: Lebih Adaptif!

Adalah sebuah ironi, bila saat kampanye banyak anggota DPR yang menyebut Revolusi 4.0 dan hal-hal ajaib lainnya, namun saat mereka duduk di DPR, mereka justru tidak memanfaatkan hal tersebut untuk mengelola informasi. Hendaknya acuan teknologi dan tren kekinian dapat menjadi titik tolak reformasi tata kelola informasi oleh DPR. Poin tersebut yang harus diadaptasi oleh DPR dalam menciptakan komunikasi politik yang inklusif.

Reformasi yang kami maksud dalam hal ini ialah mengubah secara struktural kanal media digital. DPR mempunyai kanal media digital; web, media sosial, dan aplikasi daring. Apabila kanal media tersebut dapat dioptimalkan, kami meyakini komunikasi politik antara wakil dengan pemilihnya akan membentuk kondisi yang harmonis. Untuk pembahasan kali ini, kami mencoba untuk memfokuskan pada aplikasi daring, yang kami yakini sangat minim pengembangan.

Bila melakukan reformasi, ada 2 hal yang harusnya dapat menjadi perhatian Tim Media DPR, pertama menyoal faktor budaya yang berkembang, dan kedua menyoal perkembangan teknologi yang menuntut responsifitas. Kedua faktor tersebut akan menjadi batas reformasi yang ingin kami ajukan.

Adaptasi diperlukan untuk menyesuaikan dengan gaya kelompok milenial dalam berkomunikasi. Gaya yang cair dan fleksibel. Faktor budaya mestinya diperhitungkan dalam mengembangkan media sosial DPR agar lebih diterima oleh masyarakat. — PERLU PEMBAHASAN LEBIH DALAM —

Dalam hal responsifitas, DPR tidak berperan banyak selain dari pada penyampai warta. Mereka tidak sedikit pun menanggapi Di dalam aplikasi daring dan websitenya, Media DPR tak ubah seperti kanal media massa, yang selalu melaporkan kondisi aktual dari DPR. Poin aktualisasi warta saya pikir satu gagasan yang baik, namun masyarakat membutuhkan hal yang lebih esensial; keterlibatan dalam menyusun RUU.

Mengupgrade Aplikasi Daring DPR

Salah satu adaptasi yang dapat dilakukan oleh DPR ialah mengembangkan platform aplikasi daringnya. Aplikasi daring DPR sudah ada, namun minim inovasi. Padahal ini merupakan platform yang sangat dekat dengan masyarakat.

Untuk memperbarui aplikasi daring, DPR RI mesti belajar kepada Parlemen Inggris dan Amerika, yang mempunyai fitur lebih mutakhir ketimbang aplikasi DPR RI yang dominan diisi oleh warta. Intinya aplikasi daring jangan hanya berisi sekadar warta. Harus ada fitur khusus yang dapat mencirikan aplikasi daring DPR. Bila hanya berisi warta, apa beda dengan aplikasi media massa.

Di Inggris, parlemen menyediakan aplikasi yang memungkinkan masyarakat untuk memvoting RUU — tapi voting mereka tidak menentukan keputusan konstitusi. Aplikasi bernama CommonVotes memang ditujukan untuk menjaring penolakan dan penerimaan publik terhadap RUU yang sedang dikerjakan. Lain itu, aplikasi ini juga memungkinkan masyarakat untuk melihat sikap masing-masing anggota parlemen terhadap suatu RUU, sehingga masyarakat bisa menilai konsistensi mereka.

Di Amerika, ada aplikasi Congress yang dibuat oleh Eric Mill, seorang teknologiwan yang menggeluti transparansi pemerintahan. Aplikasi Congress menurut kami lebih baik ketimbang CommonVotes milik Inggris. Informasi dasar sudah ada, seperti draft RUU, jadwal kegiatan, dan proporsi voting. Congress pun berani mencantumkan nomor telepon masing-masing anggota parlemen yang bisa dihubungi.

Dari kedua aplikasi daring di atas, setidaknya kita dapat melihat ada ruang yang bisa dikembangkan oleh DPR untuk membuat aplikasi daring yang lebih inklusif dan responsif menjawab pertanyaan publik. Di luar Inggris dan Amerika, masih ada fitur canggih yang dapat dikembangkan oleh DPR.

Semua paparan kami di atas sejatinya bermuara pada satu seruan, yakni reformasi kanal media DPR RI.

  1. Kembangkan aplikasi daring milik DPR.
  2. Perkembangan aplikasi DPR mesti berlandaskan pada transparansi informasi publik. Adapun data-data dan informasi penunjang yang perlu dibuka antara lain; tata cara memasuki gedung DPR, draft RUU, bagaimana masyarakat berperan dalam pembuatan RUU, dan kontak personal anggota DPR.
  3. DPR harus berperan aktif dalam mengundang mahasiswa melakukan audiensi terkait produk hukum tertentu. Misalnya DPR sedang membahas RUU Kesehatan, maka layangkan undangan kepada BEM Fakultas Kedokteran, BEM Fakultas Kesehatan Masyarakat, atau organisasi lain yang memang mempunyai fokus tersebut. Kelompok mahasiswa dalam hal ini menjadi mitra kritis pemerintah dalam menyusun RUU yang berpihak pada masyarakat.

--

--

Ifan Islami

Political Science 2016, University of Indonesia. Hanya berisi draft