Siklus 5 Tahunan: Banjir Jakarta dan Kerja “Ngebut” DPR

Ifan Islami
4 min readOct 10, 2019

Di Jakarta, kami punya cerita legenda bahwa banjir besar akan datang dalam kurun waktu 5 tahun sekali. Tonggak awalnya tahun 1998, berlanjut 2002, 2007, dan 2012. Tahun 2017 banjir datang, tapi tidak besar. Siklus tersebut setidaknya menjadi alarm bagi warga Jakarta untuk waspada terhadap banjir.

Di DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) ceritanya hampir sama. Bukan cerita tentang banjir, tapi tentang kejar-kejaran membuat UU. Setidaknya pada 2 periode terakhir (2009–2014 dan 2014–2019), DPR terlihat “ngebut” membahas beberapa RUU di akhir masa jabatannya. Fenomena ini patut menjadi alarm bagi rakyat Indonesia, sebagaimana warga Jakarta yang waspada banjir 5 tahunan.

September kemarin masyarakat dibuat gempar, gara-gara DPR ‘ngebut’ membahas revisi UU KPK. Tidak hanya UU KPK, ada pula RKUHP, Pertanahan, UU Siber, dan RUU lain yang turut dikebut. Saya tidak ada soal dengan model pembahasan yang cepat begini, toh baik bila DPR ‘produktif’ menghasilkan produk hukum. Yang jadi soal adalah momen; mengapa “ngebut” hanya pada saat jabatan sudah di ujung garis. Yang jadi soalan lain adalah kualitas, apakah RUU yang dibahas sudah berlandaskan pada aspirasi masyarakat. Yang “ngebut” umumnya dibuat buru-buru, asal selesai.

Andai DPR bekerja dengan baik, maka tidak perlu ribuan mahasiswa berdemo di depan gedung DPR. Tuntutan demonstrasi mahasiswa sejatinya bermuara pada satu titik; pembuatan produk hukum yang melibatkan masyarakat secara luas. Sehingga bila masyarakat dan mahasiswa merasa ada RUU yang tidak melibatkan mereka dalam pembahasan, maka turun ke jalan adalah jalan paling mudah untuk menekan kekuasaan.

Cerita Bermula di Tahun 2014

Ini bukan fenomena baru. Pada 26 September 2014, DPR pernah melakukan hal serupa; “ngebut” membuat UU. DPR pernah secara mengejutkan mengesahkan UU Pilkada yang membuat Pilkada menjadi tidak langsung alias dipilih DPRD saja.

Publik ramai-ramai menolak dan menuntut pembatalan UU Pilkada. Alasannya sederhana, hak pilih yang mereka dapat di era reformasi terancam hilang. Sudah capek-capek menurunkan Soeharto, lalu perlahan SBY ingin kembali ke orde baru yang serba represif. Hari ini mungkin hak memilih kepala daerah yang hilang, besok mungkin hak memilih Presiden yang hilang. Ada ketakutan akan Orde Baru di pikiran publik. Pada pokoknya, UU Pilkada ini menuai banyak kritik terhadap substansinya.

Penolakan terhadap UU Pilkada pun massif di media sosial. SBY menjadi sasaran bully. Tagar ShameOnYouSBY menjadi trending topic twitter di dunia. Pemerintah bereaksi. Melalui Kementerian Informasi, pemerintah melakukan take-down terhadap tagar tersebut. Bahkan Tifatul Sembiring, politisi PKS yang menjabat sebagai Menteri Kominfo, mengeluarkan wacana untuk memblokir twitter. Wacana gila itu urung terjadi. Perlawanan digital terus berlanjut. Muncul tagar baru berbunyi ShambedByYou, bila dijadikan inisial akan menjadi SBY (ShamedByYou).

Publik pada saat itu meminta SBY bersikap. Tidak lama kemudian SBY bersikap, pertama-tama SBY merasa prihatin terhadap UU Pilkada. Kata “prihatin” memang template khas SBY, tapi setidaknya SBY bersikap.

Seminggu setelah UU Pilkada sah, 2 Oktober 2014, SBY akhirnya mengeluarkan Peraturan Pengganti UU (Perpu) Pilkada. Perpu ini mengembalikan sistem pemilihan kepala daerah langsung kepada rakyat. Hak pilih masyarakat kembali lagi. Tidak ada orde baru jilid II, sebab sikap SBY jelas menentang Pilkada tidak langsung.

2019 Hal yang Sama Terjadi Lagi

Seperti sebuah siklus, fenomena “ngebut” ini rutin terjadi, setidaknya untuk 2 periode lalu. Di tahun 2014, ada UU Pilkada. Kini, 2019, DPR sudah mengesahkan revisi UU KPK. Untungnya massa aksi berhasil menekan DPR untuk menunda pengesahan beberapa RUU yang memuat substansi yang kontroversial.

Revisi UU KPK sudah kadung disahkan. UU itu pembaruan dari UU KPK №30 2002. Ada yang menyebut revisi ini justru menguatkan KPK. Di sisi lain, lebih banyak yang menyebut revisi ini melemahkan KPK.

Demonstrasi besar-besaran muncul, ada 7 tuntutan, salah satunya menolak pelemahan KPK dengan revisi UU KPK. Aksi demonstrasi ini dinamakan #ReformasiDikorupsi. Aksi tersebut membawa keresahan bahwa reformasi dengan segala keterbukaannya berusaha dikorup atau dirusak. Kebetulan, KPK merupakan produk reformasi. Aksi #ReformasiDikorupsi dapat dikaitkan dengan dirusaknya KPK sebagai anak kandung reformasi.

Prosesnya sekarang, publik sedang menunggu sikap Presiden Jokowi, yang dari kemarin-kemarin hemat berkata-kata, seakan sedang malas bersikap. Sebelumnya, Presiden menyatakan tidak setuju dalam beberapa poin mengenai revisi UU KPK. Setelah itu tidak ada sikap, hanya sebatas tidak setuju lalu diam.

Kabarnya, beberapa BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa) mengultimatum Presiden Jokowi untuk menerbitkan Perpu, dengan deadline tanggal 14 Oktober 2019.

Masalah “Ngebut”

Saya ingin kembali ke banjir, di tahun 2017 warga Jakarta tidak menerima siklus banjir besar. Ada banjir, tapi tidak besar. Sejak saat itu, mitos banjir 5 tahunan tidak lagi dipercaya masyarakat. Kenapa bisa? Sebab Pemda DKI Jakarta bekerja keras untuk mengatasi banjir, jauh sebelum musim hujan datang, Pemda sudah menyiapkan rencana strategis untuk mengatasi banjir. Sedia payung sebelum hujan.

Hal ini patutnya jadi refleksi oleh DPR RI. Tahun 2014 dan 2019 cukup jadi pembelajaran. Tidak boleh ada UU “ngebut” lagi. Sebab yang terburu-buru biasanya luput dalam banyak hal. Harus ada kemauan serius dari semua anggota DPR untuk menerapkan prinsip “sedia payung sebelum hujan”, cegah banjir sebelum musim hujan datang. Segera tuntaskan pembahasan RUU jauh-jauh hari, sehingga di akhir jabatan tidak kebanjiran demo. Bahas RUU dari jauh-jauh hari, kalau perlu sebelum masa kampanye Pileg, libatkan semua elemen masyarakat. Sehingga di akhir jabatan, tensi politiknya sudah mereda.

Siklus banjir 5 tahunan sudah tidak ada, sebab Pemda DKI berhasil mencegah banjir sebelum musim hujan datang. Namun kisah siklus “ngebut” 5 tahunan DPR tetap ada, kalau seluruh anggota DPR masih bersikap konservatif dan memilih kebanjiran demo di ujung masa jabatan.

--

--

Ifan Islami

Political Science 2016, University of Indonesia. Hanya berisi draft